Langsung ke konten utama

MAKALAH FIQIH WADI'AH DAN LUQATHAH

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
       Di antara masalah-masalah yang banyak melibatkan anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari adalah masalah muamalah (akad, transaksi) dalam berbagai bidang. Karena masalah muamalah ini langsung melibatkan manusia dalam masyarakat, maka pedoman dan tatanannya pun perlu dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.
Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing, sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.
    Dari sekian banyak transaksi atau akad yang ada, diantarannya adalah akad Al-Wadiah dan Al-Luqhatah. Al-Wadiah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan). Sedangkan Al-Luqhatah dengan Al-Luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.

1.2. Rumusan Masalah
    Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
  1. Apa yang dimaksud dengan Wadiah dan Luqathah?
  2. Bagaimana dasar hukum Wadiah dan Luqathah?
  3. Bagaimana syarat dan rukun Wadiah dan Luqathah?
  4. Apa saja macam-macam Luqathah?
1.3. Tujuan Penulisan
    Tujuan dalam pembahasan ini adalah :
  1. Mengetahui pengertian Wadiah dan Luqathah.
  2. Mengetahui penjelasan dasar hukum Wadiah dan Luqathah.
  3. Mengetahui penjelasan syarat dan rukun Wadiah dan Luqathah.
  4. Mengetahui macam-macam Luqathah.

BAB II
PEMBAHASAN
  
2.1. Pengertian Wadiah dan Dasar Hukumnya
2.1.1. Pengertian Wadiah
    Wadiah berasal dari akar kata Wadaa, yang sinonimnya Taraka, artinya: meninggalkan. Sesuatu yang dititipkan oleh seseorang kepada orang lain untuk dijaga dinamakan wadiah, karena sesuatu (barang) tersebut ditinggalkan disisi orang yang dititipi.
    Wadiah (petaruh) ialah menitipkan suatu barang kepada orang lain agar dia dapat memelihara dan menjaganya sebagaimana mestinya.
    Menurut kitab UU Hukum Perdata Islam pasal 763 yang dimaksud dengan barang titipan (wadiah) adalah barang yang diserahkan kepada orang tertentu agar menyimpannya dengan baik dan aman.
    Secara umum, wadiah adalah titipan murni dari pihak penitip yang mempunyai barang/aset kepada pihak penyimpan yang diberi amanah/ kepercayaan, baik individu maupun badan hukum, tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari kerusakan, kerugian, keamanan, dan keutuhannya, dan dikembalikan kapan saja penyimpan menghendaki.
    Firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa’ ayat 58:
                                                                      اِنٌ الٌلهَ يَأْ مُرُكُمْ اَنْ تُؤَدٌوااْلَامَنَتِ اِلَى اَهْلِهَا                           
Artinya: “Sesunggunya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya .” (An-Nisa’ : 58)
Sabda Rasulullah Saw:
عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ النٌبِىٌ صَلٌى الٌلهُ عَلَيْهِ وَسَلٌمَ : اَدٌ الْاَمَانَةَ اِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخَنْ مَنْ خَانَكَ. رواه الترمذى                          Dari Abu Hurairah, Nabi Saw. telah bersabda, Bayarkanlah petaruh itu kepada orang yang mempercayai engkau, dan jangan sekali-kali engkau berkhianat, meskipun terhadap orang yang telah berkhianat kepadamu. (H.R TIRMIDZI).

2.1.2. Dasar Hukum Wadiah
    Hukum menerima Wadiah (petaruh), yaitu: 
  • Sunnah, bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup menjaga petaruh yang diserahkan kepadanya. Memang menerima petaruh adalah sebagian dari tolong-menolong yang dianjurkan oleh agama islam. Hukum ini (sunnah) apabila ada orang lain yang dapat dipetaruhi. Tetapi kalau tidak ada yang lain, hanya dirinya sendiri. Kalau itu ia wajib menerima petaruh yang dititipkan kepadanya.
  • Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana semestinya. Karena seolah-olah ia membukakan pintu untuk kerusakan atau lenyapnya barang yang dititipkan itu.
  • Makruh, yaitu bagi orang yang dapat menjaganya, tetapi ia tidak percaya kepada dirinya. Boleh jadi di kemudian hari hal itu akan menyebabkan dia berkhianat terhadap barang yang dititipkan kepadanya.
    Wadi’ah adalah suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Dalam Surah Al-Baqarah (2) ayat 283 Allah berfirman:

وَإِن كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُواْ كَاتِبًا فَرِهَىٰنٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ  فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَىٰنَتَهُ, وَلْيَتَّقِ الّلهَ رَبَّهُ,ۗ وَلاَ تَكْتُمُواْ الشَّهَىٰدَةَۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ, ءَاثِمٌ قَلْبُهُ,ۗ وَالّلهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ ۝   
Artinya : “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

    Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa wadiah merupakan amanah yang ada di tangan orang yang dititipi (mûda) yang harus dijaga dan dipelihara, dan apabila diminta oleh pemiliknya maka ia wajib mengembalikannya.
    Disamping dalam Al-Qur’an, dasar hukum wadi’ah juga terdapat dalam hadits Nabi Saw.:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ الّلهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الّلهِ صَلَّى الّلهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكئَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكئَ
Artinya : “Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakan (menitipkan) kepadamu dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud dan ia menghasankannya, dan hadits ini juga dishahihkan oleh Hakim).
  Hadits tersebut menjelaskan bahwa amanah harus diberikan kepada orang yang mempercayakannya. Dengan demikian, amanah tersebut adalah titipan atau wadiah yang harus dikembalikan kepada pemiliknya.
    Di samping Al-Quran dan Sunnah, umat islam dari dahulu sampai sekarang telah biasa melakukan penitipan barang kepada orang lain., tanpa adanya pengingkaran dari umat Islam yang lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa umat Islam sepakat dibolehkannya akad wadiah ini.

2.1.3. Rukun dan Syarat Wadiah
1. Rukun Wadiah
    Rukun wadiah (petaruh), yaitu:
  • Ada barang yang dipetaruhkan. Syaratnya, merupakan milik yang sah.
  • Ada yang berpetaruh dan yang menerima petaruh. Syarat keduanya seperti keadaan  wakil dan yang berwakil. Tiap-tiap orang yang sah berwakil atau menjadi wakil, sah pula menerima petaruh atau berpetaruh.
  • Lafadz, seperti: Saya petaruhkan barang inikepada engkau. Jawabannya, Saya terima petaruhmu. Menurut pendapat yang sah tidak disyaratkan adanya lafadz kabul, tetapi cukup dengan perbuatan (menerima barang yang dipetaruhkan). Habis masa akad Wadiah ialah dengan matinya salah seorang dari yang berpetaruh atau yang menerima petaruh, begitu juga apabila salah seorangnya gila atau minta berhenti.
    Menurut Hanafiyah, rukun wadiah hanya satu, yaitu ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ulama, rukun wadiah itu ada empat:
a.    Benda yang dititipkan (al-ain al-mudaah),
b.    Shigat,
c.    Orang yang menitipkan (al-mudi), dan
d.    Orang yang dititipi (al-muda).
    Akad petaruh adalah akad percaya-mempercayai. Oleh karena itu, yang menerima petaruh tidak perlu menggantinya apabila barang yang dipetaruhkan hilang atau rusak. Kecuali apabila rusak karena ia lalai atau kurang penjagaan, berarti tidak dijaga sebagaimana mestinya.
    Apabila seseorang yang menyimpan petaruh sudah begitu lama sehingga ia tidak tahu lagi dimana atau siapa pemiliknya dan dia sudah pula berusaha mencari dengan secukupnya, namun tidak juga didapatnya keterangan yang jelas. Maka barang itu boleh dipergunakan untuk kepentingan umat islam dengan mendahulukan yang lebih penting dari yang penting.
2. Syarat-syarat Wadiah
    Syarat-syarat benda yang dititipkan, syarat shigat, syarat orang yang menitipkan, dan syarat orang yang dititipi, yaitu:
a. Syarat-syarat benda yang dititipkan
    Syarat-syarat untuk benda yang dititipkan yaitu Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadiah tidak sah sehingga apabila hilang, tidak wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiyah.
    Syafiiyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu, atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadiah tidak sah.
b. Syarat-syarat Shigat
    Shigat akad adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus disertai dengan niat. Contoh lafal yang sharih: saya titipkan barang ini kepada anda. Sedangkan contoh lafal sindiran (kinayah): Seseorang mengatakan, Berikan aku mobil ini. Pemilik mobil menjawab: Saya berikan mobil ini kepada anda. Kata berikan mengandung arti hibah dan wadiah (titipan). Dalam konteks ini arti yang paling dekat adalah titipan. Contoh ijab dengan perbuatan: Seseorang menaruh sepada motor di hadapan seseorang tanpa mengucapkan kata-kata apapun. Perbuatan tersebut menunjukkan penitipan (wadiah). Demikian pula qabul kadang-kadang dengan lafal yang tegas (sharih), seperti: Saya terima dan adakalanya dengan dilalah (penunjukan), misalnya sikap diam ketika barang ditaruh di hadapannya.
c. Syarat Orang yang Menitipkan (al-Mudi)  
Syarat orang yang menitipkan adalah sebagai berikut.
  • Berakal. Dengan demikian, tidak sah wadiah dari orang gila dan anak yang belum berakal.
  • Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Syafiiyah. Dengan demikian menurut Syafiiyah, wadiah tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang belum baligh (masih di bawah umur). Tetapi menurut Hanafiyah baligh tidak menjadi syarat wadiah sehingga wadiah hukumnya sah apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya atau washiy-nya.
    Sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa Malikiyah memandang wadiah sebagai salah satu jenis wakalah, hanya khusus dalam menjaga harta. Dalam kaitan dengan syarat orang yang menitipan (mudi) sama dengan syarat orang mewakilkan (mukil), yaitu:
1)   Baligh,
2)   Berakal, dan
3)   Cerdas.
    Apabila dikaitkan dengan definisi yang kedua, yang menganggap wadiah hanya semata-mata memindahkan hak menjaga harta kepada orang yang dititipi, maka syarat orang yang menitipkan (mudi) adalah ia harus membutuhkan jasa penitipan.
d. Syarat Orang yang Dititipi (Al-Muda)
    Syarat orang yang dititipi (muda) adalah sebagai berikut.
  • Berakal. Tidak sah wadiah dari orang gila dan anak yang masih di bawah umur. Hal ini dikarenakan akibat hukum dari akad ini adalah kewajiban menjaga harta, sedangkan orang yang tidak berakal tidak mampu untuk menjaga barang yang dititipkan kepadanya.
  • Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiyah tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
      Malikiyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.

2.1.4. Pengertian Luqathah dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian Luqathah
    Barang temuan dalam bahsa arab (bahasa fuqaha) disebut al-Luqathah, menurut bahasa (etimologi) artinya ialah : sesuatu yang ditemukan atau didapat. Sedangkan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri al-Luqathah ialah : nama untuk sesuatu yang ditemukan. Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain. Luqathah adalah menemukan barang yang hilang karena jatuh, terlupa, dan sebagainya. Sedangkan menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan al-luqathah sebagimana yang ditarifkan oleh para ulama adalah sebagai berikut :
  • Muhammad al-Syarbini al-Khatib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah : sesuatu yang ditemukan atas dasar hak yang mulia, tidak terjaga dan yang menemukan tidak mengetahui mustahiqnya.
  • Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairoh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah : sesuatu dai harta atau sesuatu yang secara khusus semerbak ditemukan bukan di daerah harby, tidak terpelihara, dan tidak dilarang karena kekuatannya, yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang tersebut.
  • Al-Imam Taqiy al-Din Abi Bakr Muhammad al-Husaini bahwa al-luqathah menurut syara ialah : pengambilan harta yang mulia sebab tersia-siakan untuk dipeliharanya atau dimilikinya setelah diumumkan.
  • Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah : sesuatu yang disia-siakan pemiliknya, baik karena jatuh, lupa, atau yang seumpamanya.
  • Idris Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah sesuatu barang yang ditemukan karena jatuh dari tangan pemiliknya dan yang menemukan tidak mengetahui pemilik barang yang ditemukan.
    Dari definisi-definisi yang dijelaskan oleh para ulama, secara umum dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan al-luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya. Adapun menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya Fiqh Islam Luqathah yaitu barang-barang yang didapat dari tempat yang tidak dimiliki oleh seorangpun.

2. Dasar Hukum Luqathah
    Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemuannya. Hukum pengambilan barang temuan antara lain sebagai berikut :
  • Sunat, bagi orang yang percaya kepada dirinya,sanggup mengerjakan segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan kepada barang itu sebagaimana mestinya,tetapi bila tidak diambil pun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
  • Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
  • Makruh, bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan mampu memlihara benda-benda tersebut atau tidak dan bila tidak diambil benda tersebut tidak dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh untuk mengambil benda-benda tersebut.
  • Haram, bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara harta tersebut sebagaimana mestinya, maka dia haram untuk mengambil benda-benda tersebut.
  • Jaiz atau Mubah, Jika luqathah ditemukan dibumi tak bertuan atau dijalan yang tidak dimiliki seseorang atau di selain tanah haram Mekkah. Didalam kasus semacam ini, seseorang diperkenankan memilih antara memungut luqathah untuk dijaga dan dimiliknya setelah luqathah diumumkan, atau membiarkannya. Namun lebih diutamakan memungut luqathah jika dia percaya mampu menangani berbagai persoalan yang berkenaan dengan luqathah.
3. Rukun dan Syarat Luqathah
    Adapun rukun luqathah meliputi :
  • Yang mengambil, harus adil, sekiranya yang mengambil orang yang tidak adil, hakim berhak mencabut barang itu dari orang tersebut, dan memberikannya kepada orang yang adil dan ahli. Begitu juga kalau yang mengambilnya anak kecil, hendaknya diurus oleh walinya.
  • Barang yang di dapat, sesuatu yang di dapat ada 4 macam :
  1. Barang yang dapat disimpan lama, (seperti emas dan perak), hendaknya disimpan di tempat yamng layak dengan keadaaan barang itu, kemudian diberitahukan kepada umum di tempat-tempat yang ramai dalam masa satu tahun. Juga hendaklah di kenal beberapa sifat, barang di dapatnya itu, umpamanya tempat, tutup, ikat, timbangan, atau bilangannya. Sewaktu memberitahukannya hendaklah diterangkan sebagian dari sifat-sifat itu jangan semuanya, agar tidak terambil oleh orang-orang yang tidak berhak
  2. Barang yang tidak tahan lama untuk disimpan, seperti makanan, barang yang serupa ini yang mengambil boleh memilih antara mempergunakan barang itu, asal dia sanggip menggantinya apabila bertemu dengan yang punya barang, atau ia jual, uangnya hendaknya dia simpan agar kelak dapat dibrikannya kepada yang punya.
  3. Barang yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu, dapat disimpan lama apabila dibuat keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah bagi yang empunya (dijual atau dibuat keju)
  4. Sesuatu yang berhajat pada nafkah, yaitu binatang atau manusia, anak kecil umpamanya. Tentang binatang ada dua macam, pertama : binatang yang kuat, berarti dapat menjaga dirinya sendiri terhadap binatang yang buas, seperti unta, kerbau, kuda, binatang yang seperti ini lebih baik dibiarkan saja, tidak usah diambil .kedua : binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya terhadap bahaya binatang yang buas. Binatang seperti ini hendaklah diambil, karena ditakutkan terancam bahaya dan dapat diterkam binatang buas, sesudah diambil ia harus melakukan salah satu dari tiga cara:  
    - Disembelih terus dimakan, dengan syarat ia sanggup membayar harganya apabila         bertemu dengan yang empunya. 
    -  Dengan suka rela memberi makan pada hewan tersebut.       
    - Menjualnya kemudian menyimpan harganya. jika ternyata si pemilik datang                   kepadanya, maka sipenemu harus memberikan sejumlah uang yang diperoleh dari         penjualan hewan tersebut.

4. Macam-macam Luqathah

    Terdapat macam-macam benda temuan yaitu:
  • Benda-benda tahan lama, yaitu benda-benda yang dapat disimpan dalam waktu yang lama, umpamanya mas, perak, pisau, gergaji dan yang lainnya.
  • Benda-benda yang tidak tahan lama, umpanya makanan, tepung, buah-buahan dan sebagainya. Benda-benda seperti ini boleh dimakan atau dijual supaya tidak tersia-siakan, bila kemudian baru datang pemiliknya, maka wajib mengembalikannya atau uang seharga benda-benda yang dijual atau dimakan.
  • Benda-benda yang memerlukan perawatan, seperti padi harus dikeringkan atau kulit hewan perlu disamak.
  • Benda-benda yang memerlukan perbelanjaan, seperti binatang ternak unta, sapi, kuda, kambing dan ayam. Pada hakikatnya binatang-binatang itu tidak dinamakan al-Luqathah tetapi disebut al-Dhalalah, yakni binatang-binatang yang tersesat atau kesasar.
    Adapun binatang-binatang yang ditemukan oleh seseorang secara umum dapat dibagi dua, yaitu:
  • Binatang yang kuat, yakni binatang-binatang yang mampu menjaga dirinya dari serangan binatang buas, umpamanya unta, kerbau dan kuda, baik menjaga dirinya dengan cara melawan ataupun lari, binatang yang mampu menjaga dirinya boleh diambil hanya untuk dijaga saja, kemudian diserahkan kepada penguasa, maka lepaslah tanggungan pengambil.
  • Binatang-binatang yang tidak dapat menjaga dirinya dari serangan-serangan binatang buas, baik karena tidak mampu melawan maupun karena tidak dapat menghindari, seperti anak kambing dan anak sapi, binatang-binatang ini boleh diambil untuk dimiliki, baik untuk dipelihara, disembelih maupun untuk dijual, bila datang pemilik untuk memintanya, maka wajib dikembalikan hewannya atau harganya.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
    Al-Wadiah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana hal-hal kebiasaan). Apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka penerima titipan tidak wajib untuk menggantinya, tetapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya, maka wajib menggantinya.
    Menurut Hanafiyah bahwa rukun al-Wadiah adalah satu, yaitu ijab dan qabul, adapun yang lainnya adalah termasuk syarat dan tidak termasuk rukun. Adapun menurut Hanafiyah dalam shigat ijab dianggap sah, apabila ijab tersebut dilakukan dengan perkataan yang jelas (sharih) maupun dengan perkataan samaran (kinayah), hal ini berlaku juga untuk qabul, disyaratkan bagi yang menitipkan dan yang dititipi barang dengan mukalaf.
    Luqathah ialah sesuatu yang ditemukan atau diperoleh karena disia-siakan pemiliknya dan tidak diketahui pemiliknya. Dan bagi yang menemukan ada 3 hal yang harus dilakukan : Menjaga barang yang ditemukan, Mengumumkan ditempat umum atau menginformasikan kepada pihak berwenang, Setelah waktu berlalu satu tahun, tapi tidak ada pemiliknya yang datang, maka boleh baginya tetap menyimpan atau menginfaqkan pada jalan Allah atau boleh juga dimanfaatkannya dengan tujuan kebaikan. Hukum mengambil barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Moh.1988.  Fiqih Islam. Subang : PT Almaarif.
Ascarya. 2008. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Mashud, Ibnu. 2000. Fiqh Mazhab Syafii. Bandung: PT. Pustaka Setia.
Rasjid, Sulaiman. 2015. Figh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rasjid, Sulaiman.1976. Fiqh Islam. Jakarta : Attahiriyah.
Sjamsudin, Anas Tohir. 1982. Himpunan Hukum Islam. Surabaya: Al Ikhlas.
Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wardi Muslich, Ahmad. 2013. Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah.
Zuhali, Wahbah. 2010. Fiqih Imam Syafii jilid II. Jakarta : PT Niaga Swadaya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH RAGAM BAHASA DAN KARAKTERISTIKNYA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang      Bahasa diartikan sebagai suatu sistem berupa bunyi atau lambang yang bersifat abi ia terdapat pembahasan tentang ragam bahasa beserta karakteristiknya. Dimana ragam bahasa merupakan varian dari sebuah bahasa menurut penggunaannya. Ragam bahasa amat luas pemakaiannyadan bermacam-macam pula latar belakang penuturnya, mau tidak mau akanmelahirkan sejumlah ragam bahasa yang berbeda-beda.     Terdapat beberapa ragam bahasa, diantaranya ragam lisan, ragam tulisan, ragam baku, ragam tidak baku, ragam baku lisan, ragam baku tulisan serta ragam sosial dan ragam fungsional. 1.2. Rumusan Masalah      Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut : Apakah yang dimaksud dengan ragam bahasa? Apa saja macam-macam ragam bahasa? Bagaimana cara menggunakan ragam bahasa yang baik dan benar? 1.3. Tujuan Penulisan      Tujuan dibuatnya makalah ini adalah : Mahasiswa dapat menge...

MAKALAH KONSEP DAN IMPLEMENTASI AKAD-AKAD DALAM ASURANSI SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asuransi syariah telah banyak berkembang di indonesia karena muslim di Indonesia merupakan   penduduk yang terbesar yang berartinya pasar yang sangat potensial dalam dunia bisnis.Asuransi Syariah adalah sebuah sistem dimana para peserta meng-infaqkan /menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang dialami oleh sebagian peserta. Peranan perusahaan disini hanya sebatas pengelolaan operasional  asuransi dan investasi dari dana-dana/kontribusi yang diterima/dilimpahkan kepada perusahaan. Asuransi syari’ah disebut juga dengan asuransi ta’awun yang artinya tolong menolong atau saling membantu . Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi ta’awun prinsip dasarnya adalah dasar syariat yang saling toleran terhadap sesama manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta. 1.2. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang akan dibahas adalah seba...